Selasa, 03 Maret 2009

Krakatau Purba "A Super Colossal Eruption"

Gunung Krakatau pada lukisan pada abad ke-19.

Senin 27 Agustus 1883 pukul 10.00 WIB adalah saat terakhir penduduk di sekitar Selat Sunda melihat Matahari tengah naik ke puncaknya. Setengah jam kemudian, mereka meregang nyawa diseret gelombang laut setinggi sampai 40 meter…. Jumlah seluruhnya 36.417 orang berasal dari 295 kampung di kawasan pantai Banten dan Lampung. Keesokan harinya dan keesokan harinya lagi, penduduk sejauh sampai Jakarta dan Lampung tak melihat lagi Matahari, gelap gulita. Apa yang terjadi di hari yang seperti kiamat itu adalah letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda.

Suara letusannya terdengar sampai sejauh 4600 km dan di dengar di kawasan seluas 1/8 permukaan Bumi. Telah banyak tulisan dan film di seluruh dunia dibuat tentang kedahsyatan letusan Krakatau ini. University of North Dakota, Volcanic Explosivity Index (VEI) mencantumkan dua gunung api di seluruh dunia yang letusannya paling hebat dalam sejarah moderen : Krakatau 1883 (VEI : 6) dan Tambora 1815 (VEI : 7). Dua-duanya ada di Indonesia, tak jauh dari kita. Semoga kita, bangsa Indonesia, terlebih yang menamakan dirinya geologist, mengenal dengan baik dua gunung api ini.

Tetapi, banyak dokumen menunjukkan bahwa Krakatau 1883 bukanlah satu-satunya letusan dahsyatnya. Sebelumnya, masih di Krakatau juga, ada letusannya yang kelihatannya jauh lebih dahsyat lagi daripada letusan 1883, yang terjadi pada masa sejarah, pada masa kerajaan-kerajaan Hindu pertama di Indonesia tahun 400-an atau 500-an AD (Anno Domini, Masehi). Tentu saja letusan ini tak banyak ditulis apalagi difilmkan sebab pengetahuan kita tentangnya masih samar-samar, walaupun nyata. Adalah B.G. Escher (1919, 1948) yang berdasarkan penyelidikannya dan penyelidikan Verbeek (1885), dua-duanya adalah ahli geologi Belanda yang lama bekerja di Indonesia –yang menyusun sejarah letusan Krakatau sejak zaman sejarah–moderen.

Saat ini, di Selat Sunda ada Gunung Anak Krakatau (lahir Desember 1927, 44 tahun setelah letusan Krakatau 1883 terjadi), yang dikelilingi tiga pulau: Sertung (Verlaten Eiland, Escher 1919), Rakata Kecil (Lang Eiland, Escher, 1919) dan Rakata. Berdasarkan penelitian geologi, ketiga pulau ini adalah tepi-tepi kawah/kaldera hasil letusan Gunung Krakatau (Purba, 400-an/500-an AD). Escher kemudian melakukan rekonstruksi berdasarkan penelitian geologi batuan-batuan di ketiga pulau itu dan karakteristik letusan Krakatau 1883, maka keluarlah evolusi erupsi Krakatau yang menakjubkan (skema evolusi Krakatau dari Escher ini bisa dilihat di buku van Bemmelen, 1949, 1972, atau di semua buku moderen tentang Krakatau).

B.G. Escher berkisah, dulu ada sebuah gunung api besar di tengah Selat Sunda, kita namakan saja KRAKATAU PURBA yang disusun oleh batuan andesitik. Lalu, gunung api ini meletus hebat (Kapan? Ada dokumen-dokumen sejarah tentang ini, ditulis di bawah) dan membuat kawah yang besar di Selat Sunda yang tepi-tepinya menjadi pulau Sertung, Rakata Kecil dan Rakata. Lalu sebuah kerucut gunung api tumbuh berasal dari pinggir kawah dari pulau Rakata, sebut saja gunung api Rakata, terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul di tengah kawah, bernama gunung api Danan dan gunung api Perbuwatan. Kedua gunung api ini kemudian menyatu dengan gunung api di Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut KRAKATAU. Tahun 1680, gunung Krakatau meletus menghasilkan lava andesitik asam. Tanggal 20 Mei 1883, setelah 200 tahun tertidur, sebuah erupsi besar terjadi, dan terus-menerus sampai puncak erupsi terjadi antara 26-28 Agustus 1883 (Inilah letusan Krakatau 1883 yang terkenal itu). Erupsi ini telah melemparkan 18 km3 batu apung dan abu vulkanik. Gunung api Danan dan Perbuwatan hilang karena erupsi dan runtuh, dan setengah kerucut gunung api Rakata hilang karena runtuh, membuat cekungan kaldera selebar 7 km sedalam 250 meter. Desember 1927, ANAK KRAKATAU muncul di tengah-tengah kaldera.

Seberapa besar dan kapan erupsi KRAKATAU PURBA terjadi? Inilah tujuan utama tulisan saya kali ini. Tulisan-tulisan yang berhasil dikumpulkan (buku-buku dan paper-paper lepas) menunjuk ke dua angka tahun: 416 AD atau 535 AD. Angka 416 AD adalah berasal dari sebuah teks Jawa kuno berjudul ”Pustaka Raja Purwa” yang bila diterjemahkan bertuliskan: ”Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Lalu datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra.” Di tempat lain, seorang bishop Siria, John dari Efesus, menulis sebuah chronicle di antara tahun 535-536 AD, “Ada tanda-tanda dari Matahari, tanda-tanda yang belum pernah dilihat atau dilaporkan sebelumnya. Matahari menjadi gelap, dan kegelapannya berlangsung sampai 18 bulan. Setiap harinya hanya terlihat selama empat jam, itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan, “Matahari tak akan pernah mendapatkan terangnya lagi.” Dokumen di Dinasti Cina mencatat: ”Suara guntur yang sangat keras terdengar ribuan mil jauhnya ke baratdaya Cina”. (Semua kutipan diambil dari buku Keys, 1999: Catastrophe: A Quest for the Origins of the Modern Worls, Ballentine Books, New York).

Itu catatan-catatan dokumen sejarah yang bisa benar atau diragukan. Tetapi, penelitian selanjutnya menemukan banyak jejak-jejak ion belerang yang berasal dari asam belerang vulkanik di temukan di contoh-contoh batuan inti (core) di lapisan es Antarktika dan Greenland, ketika ditera umurnya: 535-540 AD. Jejak-jejak belerang vulkanik tersebar ke kedua belahan Bumi: selatan dan utara. Dari mana lagi kalau bukan berasal dari sebuah gunung api di wilayah Equator? Kumpul-kumpul data, sana-sini, maka semua data menunjuk ke satu titik di Selat Sunda: Krakatau! Adalah letusan KRAKATAU PURBA penyebab semua itu.

Letusan KRAKATAU PURBA begitu dahsyat, sehingga dituduh sebagai penyebab semua abad kegelapan di dunia. Penyakit sampar Bubonic (Bubonic plague) terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan telah mengurangi jumlah penduduk di seluruh dunia. Kota-kota super dunia segera berakhir, abad kejayaan Persia purba berakhir, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Bizantium terjadi, peradaban South Arabian selesai, berakhirnya rival Katholik terbesar (Arian Christianity), runtuhnya peradaban-peradaban purba di Dunia baru–berakhirnya negara metropolis Teotihuacan, punahnya kota besar Maya Tikal, dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Kata Keys (1999), semua peristiwa abad kegelapan dunia ini terjadi karena bencana alam yang maha besar, yang sangat mengurangi cahaya dan panas Matahari selama 18 bulan, menyebabkan iklim global mendingin.

K. Wohletz, seorang ahli vulkanologi di Los Alamos National Laboratory, mendukung penelitian David Keys, melalui serangkaian simulasi erupsi KRAKATAU PURBA yang terjadi pada abad keenam Masehi tersebut. Artikelnya (Wohletz, 2000: Were the Dark Ages Triggered by Volcano-Related Climate Changes in the Sixth Century?–If So, Was Krakatau Volcano the Culprit? EOS Trans American Geophys Union 48/81, F1305) menunjukkan simulasi betapa dahsyatnya erupsi ini. Inilah beberapa petikannya. Erupsi sebesar itu telah melontarkan 200 km3 magma (bandingkan dengan Krakatau 1883 yang 18 km3), membuat kawah 40-60 km, letusan hebat terjadi selama 34 jam, tetapi terus terjadi selama 10 hari dengan mass discharge 1 miliar kg/detik. Eruption plume telah membentuk perisai di atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur 5-10 derajat selama 10-20 tahun.

Begitulah, Escher dan Verbeek menyelidiki ada erupsi Krakatau Purba; dokumen-dokumen sejarah dari Indonesia (Pustaka Raja), Siria, dan Cina mencatat sebuah bencana yang sangat dahsyat terjadi di abad 5 atau 6 Masehi; ice cores di Antarktika dan Greenland mencatat jejak-jejak ion sulfate vulkanik dengan umur 535-540 AD, peristiwa2 Abad Kegelapan di seluruh dunia terjadi pada abad ke-6, dan simulasi vulkanologi erupsi Krakatau Purba: semuanya kelihatannya bisa saling mendukung untuk a Super Collosal Eruption of proto-Krakatau 535 AD.

Kalau benar, gunung api itu hanya di Selat Sunda, tak jauh dari kita, semoga kita mengenalnya dengan lebih baik, dan makin banyak ahli, Indonesia yang meneliti serta menuliskannya (sebab kini sedikit sekali bilangan ahli kita yang mempelajari dan menuliskannya, cukup dihitung dengan jari-jari di satu tangan!).

Senin, 09 Februari 2009

Gunung Toba


Super vulkanik Gunung Toba yang kini telah berubah menjadi Danau Toba yang sebenarnya adalah kaldera dengan Pulau Samosir ditengahnya

Dalam pencarian Seminggu, Sebulan, dan dalam Setahun......... Akhirnya inilah hasilnya :

Gunung Toba ternyata adalah super volcano yaitu gunung aktif dalam kategori sangat besar, meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu yang kini hanyalah sebuah danau yaitu Danau Toba, Sumatra Utara, Indonesia yang merupakan bekas kaldera terbesar di dunia.


Bukti Ilmiah

Pada tahun 1939, geolog Belanda Van Bemmelen melaporkan, Danau Toba, yang panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung. Karena itu, Van Bemmelen menyimpulkan, Toba adalah sebuah gunung berapi. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu rhyolit yang seusia dengan batuan Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara hingga India Tengah.

Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba di Samudra Hindia dan Teluk Bengal. Para peneliti awal, Van Bemmelen juga Aldiss & Ghazali (1984) telah menduga Toba tercipta lewat sebuah letusan maha dahsyat. Namun peneliti lain, Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984), menduga kaldera itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Peneliti lebih baru, Knight dan sejawatnya (1986) serta Chesner dan Rose (1991), memberikan perkiraan lebih detail: kaldera Toba tercipta lewat tiga letusan raksasa.

Penelitian seputar Toba belum berakhir hingga kini. Jadi, masih banyak misteri di balik raksasa yang sedang tidur itu. Salah satu peneliti Toba angkatan terbaru itu adalah Fauzi dari Indonesia, seismolog pada Badan Meteorologi dan Geofisika. Sarjana fisika dari Universitas Indonesia lulusan 1985 ini berhasil meraih PhD dari Renssealer Polytechnic Institute, New York, pada 1998, untuk penelitiannya mengenai Toba.

Berada di tiga lempeng tektonik

Letak Gunung Toba (kini: Danau Toba), di Indonesia memang rawan bencana. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Aurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebanyak 80% dari wilayah Indonesia, terletak di lempeng Aurasia, yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Banda.

Lempeng benua ini hidup, setiap tahunnya mereka bergeser atau menumbuk lempeng lainnya dengan jarak tertentu. Lempeng Aurasia yang merupakan lempeng benua selalu jadi sasaran. Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Aurasia sejauh 7 cm per tahun. Atau Lempeng Pasifik yang bergeser secara relatif terhadap lempeng Aurasia sejauh 11 cm per tahun. Dari pergeseran itu, muncullah rangkaian gunung, termasuk gunung berapi Toba.

Jika ada tumbukan, lempeng lautan yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawahnya lempeng benua. Proses ini lantas dinamakan subduksi atau penyusupan.

Gunung hasil subduksi, salah satunya Gunung Toba. Meski sekarang tak lagi berbentuk gunung, sisa-sisa kedasahyatan letusannya masih tampak hingga saat ini. Danau Toba merupakan kaldera yang terbentuk akibat meletusnya Gunung Toba sekitar tiga kali yang pertama 840 juta tahun lalu dan yang terakhir 74.000 tahun lalu. Bagian yang terlempar akibat letusan itu mencapai luas 100 km x 30 km persegi. Daerah yang tersisa kemudian membentuk kaldera. Di tengahnya kemudian muncul Pulau Samosir.

Letusan

Sebelumnya Gunung Toba pernah meletus tiga kali.

  • Letusan pertama terjadi sekitar 840 juta tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, meliputi daerah Prapat dan Porsea.
  • Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 juta tahun lalu. Letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba. Tepatnya di daerah antara Silalahi dengan Haranggaol. Dari dua letusan ini, letusan ketigalah yang paling dashyat.
  • Letusan ketiga 74.000 tahun lalu menghasilkan kaldera, dan menjadi Danau Toba sekarang dengan Pulau Samosir di tengahnya.

Gunung Toba ini tergolong Supervolcano. Hal ini dikarenakan Gunung Toba memiliki kantong magma yang besar yang jika meletus kalderanya besar sekali. Volcano kalderanya ratusan meter, sedangkan Supervolacano itu puluhan kilometer.

Yang menarik adalah terjadinya anomali gravitasi di Toba. Menurut hukum gravitasi, antara satu tempat dengan lainnya akan memiliki gaya tarik bumi sama bila mempunyai massa, ketinggian dan kerelatifan yang sama. Jika ada materi yang lain berada di situ dengan massa berbeda, maka gaya tariknya berbeda. Bayangkan gunung meletus. Banyak materi yang keluar, artinya kehilangan massa dan gaya tariknya berkurang. Lalu yang terjadi up-lifting (pengangkatan). Inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

Magma yang di bawah itu terus mendesak ke atas, pelan-pelan. Dia sudah tidak punya daya untuk meletus. Gerakan ini berusaha untuk menyesuaikan ke normal gravitasi. Ini terjadi dalam kurun waktu ribuan tahun. Hanya Samosir yang terangkat karena daerah itu yang terlemah. Sementara daerah lainnya merupakan dinding kaldera.